Apa itu Badai Topan ??
Angin Topan
Angin topan adalah pusaran angin kencang dengan kecepatan angin 120
km/jam atau lebih yang sering terjadi di wilayah tropis diantara garis
balik utara dan selatan, kecuali di daerah-daerah yang sangat berdekatan
dengan khatulistiwa. Angin topan disebabkan oleh perbedaan tekanan
dalam suatu sistem cuaca. Angin paling kencang yang terjadi di daerah
tropis ini umumnya berpusar dengan radius ratusan kilometer di sekitar
daerah sistem tekanan rendah yang ekstrem dengan kecepatan sekitar 20
Km/jam.
Badai
Berbeda dengan angin topan, Badai adalah cuaca yang ekstrim, mulai dari
hujan es dan badai salju sampai badai pasir dan debu. Badai disebut juga
siklon tropis oleh meteorolog, berasal dari samudera yang hangat. Badai
bergerak di atas laut mengikuti arah angin dengan kecepatan sekitar 20
km/jam. Badai bukan angin ribut biasa. Kekuatan anginnya dapat mencabut
pohon besar dari akarnya, meruntuhkan jembatan, dan menerbangkan atap
bangunan dengan mudah.
Tiga hal yang paling berbahaya dari badai adalah sambaran petir, banjir
bandang, dan angin kencang. Terdapat berbagai macam badai, seperti badai
hujan, badai guntur, dan badai salju. Badai paling merusak adalah badai
topan (hurricane), yang dikenal sebagai angin siklon (cyclone) di
Samudera Hindia atau topan (typhoon) di Samudera Pasifik.
Penyebab Terjadinya:
Badai
Penyebab badai adalah tingginya suhu permukaan laut. Perubahan di dalam
energi atmosfer mengakibatkan petir dan badai. Badai tropis ini berpusar
dan bergerak dengan cepat mengelilingi suatu pusat, yang sumbernya
berada di daerah tropis. Pada saat terjadi angin ribut ini, tekanan
udara sangat rendah disertai angin kencang dengan kecepatan bisa
mencapai 250 km/jam. Hal ini bisa terjadi di Indonesia maupun
negara-negara lain. Di dunia, ada tiga tempat pusat badai, yaitu di
Samudera Atlantik, Samudera Hindia, dan Samudera Pasifik. Perubahan
iklim membawa badai tropis yang semakin hebat Serangan angin topan yang
belakangan ini semakin dahsyat, menimbulkan tanda tanya baru bagi para
pakar iklim. Apakah meningkatnya kekuatan, frekuensi dan durasi angin
topan itu berkaitan langung dengan fenomena pemanasan global?
Dunia dikejutkan dengan serangan angin topan dahsyat, sekelas Katrina
dan Wilma yang melanda kawasan cukup luas di Atlantik Utara. Badai
sangat ganas atau topan (hurricane) yang menerjang kawasan Amerika
Serikat itu berasal dari badai tropis (tropical storm). Badai yang
awalnya berkekuatan rendah, dalam perjalanannya menjadi semakin kuat
dengan daya hancur tinggi. Badai Katrina telah memporakporandakan
sebagian wilayah Amerika Serikat (AS) bulan Agustus lalu.
Belum habis trauma warga terhadap keganasan Katrina, sebulan kemudian
topan Rita menyusul. Bukan hanya kawasan AS yang sering dihantam badai.
Negara-negara di Asia Timur yaitu Filipina, Taiwan, Cina, Jepang, dan
Korea juga sering dilanda badai dengan berbagai intensitas (kekuatan
angin dan curah hujan). Indonesia termasuk negara yang mujur karena
tidak pernah kedatangan badai dahsyat. Letak geografis Indonesia di
garis khatulistiwa dan akibat pengaruh rotasi Bumi tidak memungkinkan
badai-badai yang lahir di kawasan Filipina menuju Indonesia, apalagi
menyeberangi garis khatulistiwa. Sebetulnya angin topan atau badai
tropis merupakan fenomena alam yang wajar saja, akan tetapi, sekarang
para pakar meteorologi mulai melihat pertanda yang tidak wajar, dengan
semakin banyaknya angin topan yang kekuatannya luar biasa dan cakupan
wilayah yang dilandanya amat luas. Tentu saja para pengamat cuaca
bertanya-tanya, apa pemicu gejala yang tidak lazim ini. Apakah gara-gara
pemanasan global? Ataukah ada pemicu lain yang mempengaruhi perubahan
kekuatan dan intensitas badai tersebut?
Mula-mula para pakar mengamati dengan seksama gejala pemanasan global.
Berdasarkan data cuaca yang dikumpulkan, ternyata dalam 35 tahun
terakhir ini, suhu rata-rata permukaan laut mengalami kenaikan antara
setengah hingga satu derajat Fahrenheit. Berdasarkan hukum fisika, panas
adalah sumber energi. Aksioma sementara yang ditarik adalah, pemanasan
global berpengaruh pada meningkatnya kekuatan angin topan. Tetapi yang
juga menarik, walaupun kekuatan angin topan meningkat dan wilayah yang
dilandanya juga semakin luas, tetapi frekuensi keseluruhan badai relatif
tidak bertambah. Sejauh ini para peneliti masih kekurangan data untuk
dapat menyimpulkan bahwa pemanasan global merupakan faktor pemicunya.
Penelitian Peter Webster dari Institut Teknologi Georgia di Atlanta
menunjukkan, secara umum terdapat logika, naiknya suhu rata-rata akan
meningkatkan kekuatan angin topan dan badai.
Para peneliti mengatakan, panas adalah energi dan energi menggerakan
angin topan. Namun sejauh ini, kaitan antara kedua fenomena itu baru
berupa data statistik, dimana ketika suhu rata-rata naik maka kekuatan
angin topan bertambah hebat. Apakah fenomena pertama menyebabkan
fenomena berikutnya, masih harus terus dibuktikan secara ilmiah. Data
yang dikumpulkan tim peneliti yang dipimpin Webster juga amat
mencengangkan. Disebutkannya, pada tahun 1970-an di seluruh dunia
rata-rata terjadi per tahunnya 10 angin topan dengan kategori 4 atau 5.
Angin Topan kategori 4 atau 5 dapat mencapai kecepatan lebih dari 200 km
per jam. Sejak tahun 1990-an, jumlah angin Topan berkekuatan kategori 4
dan 5 naik hampir dua kali lipatnya, menjadi rata-rata 18 kasus per
tahunnya. Semua fenomena ini terjadi ketika suhu permukaan air laut
global juga naik, antara setengah hingga satu derajat Fahrenheit,
tergantung kawasannya.
Penelitian yang dilakukan para pakar meteorologi tetap konsisten pada
konsep adanya relasi antara pemanasan global dengan peningkatan kekuatan
angin topan. Webster mengatakan, kaitannya amat rumit. Faktanya, amat
sulit menjelaskan mengapa frekuensi dan durasi keseluruhan angin topan
justru menurun, jika kenaikan suhu permukaan laut melebihi rata-rata.
Karena itulah, para pakar angin topan kini memusatkan perhatian ke
kawasan Atlantik Utara. Karena sejak tahun 1995, kekuatan dan durasi
angin topan di kawasan tersebut meningkat drastis. Hasil penelitian
menunjukkan, jumlah angin topan kategori 4 dan 5 di Atlantik Utara
meningkat drastis dalam rentang waktu yang relatif pendek. Dalam periode
antara tahun 1975 hingga 1989, tercatat 16 kasus angin topan dahsyat.
Sementara dalam periode antara tahun 1990 hingga 2004 tercatat 25 kasus
angin topan dahsyat, atau terjadinya kenaikan kasus sebesar 56 persen
dalam 15 tahun terakhir ini.
Demikian juga penelitian yang dilakukan secara terpisah, dengan metode
yang berbeda oleh Prof. Kerry Emmanuel, pakar ilmu atmosfir dari
Institut Teknologi Massaschussets, menunjukan data yang nyaris identik.
Yang kini dipertanyakan, apakah aktivitas manusia yang memicu pemanasan
global merupakan satu-satunya penyebab meningkatnya kekuatan angin
topan? Dengan hati-hati Webster mengatakan, diperlukan pencatatan data
lebih lama untuk mengetahui sifat dari angin topan hebat tersebut Para
ahli hendak meneliti lebih jauh, menyangkut peranan angin topan dalam
pengaturan keseimbangan dan sirkulasi panas di atmosfir maupun di
lautan. Webster juga melakukan penelitian peranan angin topan terhadap
iklim. Pokok pikirannya adalah, angin topan melakukan mekanisme
mendinginkan suhu permukaan laut. Caranya dengan memicu penguapan air
laut serta mentransportasikan panas dari permukaan laut ke kawasan yang
lebih tinggi. Dengan begitu, terjadi siklus pendinginan permukaan laut.
Akan tetapi, para peneliti juga mengakui, sejauh ini belum banyak
mengetahui, bagaimana proses penguapan dan transportasi panas dalam
kecepatan angin topan sekitar 150 km per jam.
Jika para peneliti berhasil memahami mekanisme tersebut dengan lebih
baik maka pembentukan angin topan, frekuensi serta durasinya akan lebih
dimengerti, sehingga dengan demikian dapat dibuat ramalan atau skenario
hubungan timbal balik, antara pemanasan global dengan semakin kuat dan
seringnya fenomena angin topan. Namun, karena pemahaman menyangkut
mekanisme itu belum lengkap, sejauh ini peramalan frekuensi maupun
durasi angin Topan lebih banyak berupa pemindahan danpengolahan data
statistik saja. Teori baru yang dilontarkan Webster maupun Emmanuel,
tidak begitu saja diterima oleh para peneliti iklim lainnya. Misalnya
saja Chris Landsea, pakar meteorologi dari pusat penelitian angin topan
di Miami AS, meragukan metode pengukuran yang dilakukan Webster. Landsea
menduga, berbagai data statistik yang dijadikan dasar penarikan
kesimpulan, lebih banyak merupakan dampak dari semakin baiknya kualitas
pengamatan satelit beberapa dekade terakhir ini. Jadi kesimpulan itu
bukan merupakan indikasi perubahan, melainkan indikasi dari pemutakhiran
data yang lebih akurat. Webster dan tim penelitinya juga mengajukan
argumen bantahan. Disebutkan, memang teknik yang digunakan mengukur
intensitas angin topan, terus berubah setiap tahunnya. Akan tetapi,
metode pengukuran yang digunakan, untuk menentukan kecepatan maksimal
angin topan, tidak berubah. Tambahan lagi, angin topan di kawasan
Atlantik Utara dan Pasifik Timur dikalibrasi menggunakan sistem
pemantulan dari pesawat terbang. Jadi data satelit harus sesuai dengan
data pengukuran menggunakan pesawat terbang, agar datanya akurat.
Berbagai teori baru memang diperlukan untuk menjelaskan fenomena angin
topan di permukaan bumi. Seperti diungkapkan oleh Webster, selain
pengaruh pemanasan global suhu permukaan laut, aliran panas di samudra
di dunia, juga dipengaruhi oleh arus thermo-haline, yakni arus panas
yang dipicu perbedaan kadar garam di samudra. Faktor ini juga harus
diperhitungkan dalam penelitian frekuensi maupun durasi angin topan.
Sebab, arus thermo-haline merupakan konveksi panas yang juga
mempengaruhi munculnya gejala El Nino. Padahal gejala El Nino merupakan
mekanisme untuk redistribusi panas di kawasan Samudra Pasifik. Sehingga
logikanya, jika muncul El Nino maka intensitas angin topan juga turun
secara signifikan. Jadi memang tetap diperlukan penelitian jangka
panjang, untuk mengerti kaitan berbagai fenomena alam, yang memicu
semakin tingginya frekuensi dan kuatnya angin topan.
Sebuah penelitian oleh Badan Meteorologi Dunia Perserikatan
Bangsa-Bangsa (WMO) selama empat tahun menganalisa penelitian kajian
kembali tentang badai lautan yang dikenal sebagai angin puyuh di
Atlantik dan angin topan di Asia. Menggunakan peramalan batas menengah
dari peningkatan suhu pemanasan global sebesar 2,8 Celcius, penelitian
WMO meramalkan badai masa depan dengan angin yang lebih kuat dan curah
hujan yang lebih tinggi. Terlebih lagi beberapa tempat sepertinya akan
mengalami peningkatan besar dari pola cuaca berat. WMO juga melaporkan
bahwa penemuan ini konsisten dengan yang telah diterbitkan pada tahun
2007 oleh Panel Antar Pemerintah untuk Perubahan Iklim Perserikatan
Bangsa-Bangsa yang mencatat kemungkinan lebih banyak topan hebat, dengan
tambahan hujan dan kecepatan angin lebih tinggi. Para peneliti Badan
Meteorologi Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, kami dengan tulus
berterima kasih atas kerja teliti Anda yang memperingatkan masyarakat
pada kemungkinan cuaca ekstrem yang merusak. Mari kita bergabung dalam
upaya sepenuh hati pada gaya hidup yang melindungi bumi untuk memastikan
rumah yang stabil bagi generasi masa depan. Menunjukkan kepedulian-Nya
bagi keadaan umat manusia, Maha Guru Ching Hai berbicara tentang cuaca
ekstrem yang makin hebat selama konverensi video pada bulan Agustus 2009
di Thailand.
Beberapa Angin Topan Dan Badai Terbesar Yang Mengancam Kehidupan Dunia
- Tri-State Tornado – 18 Maret 1925 Selama lebih dari tiga setengah jam, Tri-State Tornado menjadi tornado paling mematikan yang merobek-robek daratan utama AS. Tornado ini membunuh 700 orang dan menghancurkan lebih dari 15.000 ribu rumah di wilayah Illinois, Indiana, dan Missouri. Setelah bencana ini, pemerintah setempat mulai mengembangkan sistem peringatan tornado yang diharapkan dapat menekan angka kematian jika bencana kembali datang.
- Angin Topan Okeechobee – 16 September 1928 Saat para penghuni Lake Okeechobbee yang tengah mengungsi mengetahui angin topan yang diprediksi tidak datang sesuai jadwal, mereka pun kembali pulang. Namun sial melanda pada sore hari menjelang malam pada tanggal 16 September. Badai tersebut ternyata datang. Angin topan berkecepatan 140 mph (225 kph) itu menghancurkan kota kecil di pinggir danau dan menyebabkan banjir hebat selama berminggu-minggu. Sekitar 2500 nyawa melayang akibat musibah ini.
- Badai Katrina – 29 Agustus 2005 Badai Atlantik yang semua dikategorikan sebagai badai kategori 1 ini ternyata menjadi musibah pantai terburuk dalam sejarah AS. Badai Katrina menyapu bersih kawasan pantai Louisiana dengan kecepatan 125 mph (201,1 kph), merusak tanggul pelindung New Orleans, dan menenggalamkan 80 persen kota sekitar. Katrina membunuh sekitar 1836 orang dan menyebabkan kerusakan senilai US$ 125 miliar.
- Badai Galveston – 8 September 1900 Galveston dikenal pada akhir abad ke-19 sebagai “Mutiara Texas” hingga akhirnya dilanda bencana alam terdahsyat sepanjang sejarah AS. Badai kategori 4 dengan kecepatan 135 mph (217,26 kph) menghantam kota terbesar Texas penghasil kapas ini pada pagi hari, menghancurkan hampir semua bangunan dengan gelombang air setinggi 15 kaki. Pada petang hari setelah musibah tragis itu, seluruh pulau tenggelam, bak Atlantis. Sekitar 8000 orang dinyatakan hilang. Walaupun kota ini berhasil dibangun kembali, kesejahteraan kota yang memiliki reputasi sebagai “New York kawasan Selatan” ini tidak pernah datang lagi Badai Terkuat Dalam waktu beberapa jam badai topan ‘Wilma’ menjadi angin topan terbesar yang pernah tercatat di Atlantik. Dengan kekuatan angin 340 km per jam ‘Wilma’ bergerak menuju Amerika tengah. Akibat derasnya hujan dan tanah longsor sejumlah orang tewas di Haiti. Sementara pemerintah Honduras dan Nikaragua menyatakan keadaan darurat. Di Kuba ribuan orang berhasil diselamatkan dari rumah mereka. Akhir pecan ini, angin topan ‘Wilma’ kemungkinan akan mencapai negara bagian Florida di AS. ‘Wilma’ adalah angin topan ke12 yang melanda daerah tersebut tahun ini.
- Dalam 150 tahun terakhir angin topan sebanyak itu dalam satu musim hanya terjadi sekali Badai Topan Hantam Eropa Angin berkecepatan tinggi dan gelombang pasang serta hujan lebat menerjang Eropa, menewaskan sedikitnya 52 orang. Badai topan Atlantik menghantam pantai barat Prancis dan Spanyol, menciptakan gumpalan awan yang membentang dari Portugal di selatan sampai ke Belanda di utara dan masuk ke daratan sampai sejauh Jerman. Jumlah korban terbesar jatuh di Prancis di mana angin kencang dengan kecepatan 150 kilometer sejam dan gelombang setinggi delapan meter menghantam pantai barat. Perdana Menteri Francois Fillon mengatakan, pemerintah akan mengumumkan badai topan itu sebagai bencana nasional sehingga akan membebaskan pengeluaran dana untuk membantu membiayai operasi rekonstruksi.
- Bulan september bagi orang Jepang adalah bulan yang sangat berat. Bagaimana tidak sepanjang bulan september hingga oktober mendatang Jepang dilanda angin topan berturut-turut. Pada awal bulan ini sebagian besar daerah di pulau Honshu sudah mulai dihantam oleh badai topan no 9 (eye), mulai dari Aichi dan terus naik ke utara hingga mencapai Hokkaido. Akibat badai topan ini 1 hilang dilaporkan tewas dan 1 lagi hilang. Kurang lebih ada lima jenis topan yang menghantam Jepang pada bulan-bulan ini. Tercatat dalam sejarah, tanggal 21 September 1934, angin topan dahsyat menghatam Jepang, tepatnya di semenanjung Muroto di daerah Shikoku (Jepang bagian selatan), yang mana kekuatan angin topan mencapai 61 meter per detik!. Angin topan ini merenggut 2500 jiwa dan merusak hampir sebagaian besar bangunan dan lahan pertanian. Pada tanggal 26 september 1959 juga terjadi topan yang luar biasa yang dikenal dengan topan teluk ise. Oleh karena itu, untuk mengahadapi banyaknya bencana alam yang pada bulan september maka orang Jepang dituntut untuk selalu siap dan siaga. Selain membawa korban jiwa, angin topan ini juga merusak berbagai macam infrastrukur seperti listrik, jaringan telpon dan lain sebagainya. Di perfektur Aichi diperkirakan1000 rumah harus kehilangan penerangan dan sukar untuk melakukan komunikasi.
Komentar
Posting Komentar